Thursday 4 January 2018

Resting Bitch Face Syndrome Bukanlah Penyakit Sosial




Resting Bitch Face Syndrom be like a grumpy cat
Image source : AllPosters.com
 Ekspresi wajah merupakan hal yang penting dalam hubungan interpersonal (Suslow, Dannlowski, Arolt & Ohrmann dalam Swinney, 2017). Seperti yang dikatakan oleh Montepare & Dobish dalam Swinney (2017)  bahwa ekspresi wajah seseorang dapat memberikan informasi bagaimana keadaan dan juga perilaku orang tersebut. Dalam berkomunikasi, manusia tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alat penyampaian pendapat, tetapi bahasa tubuh dan raut wajah juga dapat digunakan sebagai alat untuk menyampaikan makna

Istilah Resting Bitch Face  saat ini masih terdengar asing di telinga  masyarakat. Padahal kehadiran orang – orang yang menderita sindrom  ini cukup banyak. Apabila kita mau memperhatikan orang – orang di sekitar kita, maka kita kan menemukan beberapa orang yang dianggap selalu memasang ekspresi wajah yang murung, tidak bisa tersenyum, penuh dengan kebencian, dan seakan akan ingin  memukul orang yang sedang ditemui oleh para penderita sindrom ini. Orang – orang yang mengalami sindrom ini belum tentu selalu bersikap jahat, galak, sedih, ataupun kesal. Mungkin mereka memiliki sikap baik yang tertanam dalam hati maupun kepribadiannya. Hanya saja mereka tidak bisa menunjukkan ekspresi netral yang terlihat gembira di wajah mereka. Apabila ada pepatah yang mengatakan bahwa terkadang hati, dan pikiran, memang tak selaras dengan rupa, hal tersebut benar adanya, karena inilah yang sering dialami oleh para penderita sindrom RBF (Resting Bitch Face).  
Ahli bedah plastik menyatakan bahwa fenomena ini sering ditemui di dunia bedah. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang ada kelainan yang terdapat pada otot wajah penderita sindrom tersebut. Kelainan tersebut membuat para penderita selalu menunjukkan wajah yang tidak bersahabat dalam keadaan atau posisi dimana wajah mereka memang sedang dalam keadaan netral. Karena mereka berada dalam keadaan  dimana mereka merasa kesulitan untuk mengontrol bagaimana ekspresi wajah mereka. Bahkan, para penderita sindrom ini tidak menyadari bagaimana ekspresi wajah mereka ketika mereka berhadapan atau berbicara dengan orang lain.  Sehingga banyak dari mereka yang mendapatkan citra sebagai orang yang mahal senyum dari beberapa   orang.

Pengaruh Stereotip Gender
          Sebagian besar penderita Resting Bitch Face Syndrome merupakan wanita. Pada dasarnya anggapan apakah seseorang menderita sindrom  tersebut merupakan sesuatu yang tidak jauh dari subyektivitas belaka. Hal yang patut menjadi pertanyaan adalah, mengapa sindrom ini banyak diderita oleh wanita? Tentu saja istilah stereotip gender ikut terlibat untuk menjawab pertanyaan ini.  Mari kita telaah pernyataan tersebut dengan melihat lebih jeli mengenai perilaku yang terdapat dalam masyarakat. Camia (2016:7) menjelaskan bahwa  sejak usia muda, para wanita telah diajarkan bahwa mengekspresikan kemarahan merupakan hal yang tidak lazim. Sadar atau tidak, bahwa sejak zaman nenek moyang dulu, masyarakat sering memberi label  terhadap wanita bahwa seorang wanita itu hendaknya selalu tersenyum, lemah lembut, dan haram hukumnya untuk cemberut. Berbeda dengan laki-laki yang tidak mendapat label tersebut. Malah akan terlihat aneh apabila seorang laki – laki sering tersenyum, karena citra yang dimiliki antara laki – laki dan perempuan jelas berbeda. Laki – laki cenderung akan terlihat lebih maskulin tanpa harus selalu tersenyum seperti apa yang seharusnya wanita lakukan.  Hal tersebut tentu dapat dikaitkan  dengan budaya patriarki dimana laki – laki memegang peranan yang dominan dalam masyarakat. Laki- laki memang mengharapkan wanita  untuk selalu tersenyum, dengan begitu wanita akan terlihat lebih cantik. Reyes (2015:13) dalam penelitiannya mengenai jenis wajah yang menarik perhatian pria pada wanita menemukan bahwa pria lebih menyukai wajah wanita yang awet muda dengan ekspresi ramah. Wanita yang lebih sering tersenyum memiliki peluang yang lebih besar untuk membuat orang lain menjadi tertarik. 
          Tidak hanya itu, pengaruh ekspresi wajah juga berpengaruh dalam hal pekerjaan di masyarakat. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Brescoll dan Ulhmann (2008:273) dalam artikel penelitiannya yang membahas mengenai perbedaan status, jenis kelamin, dan kemarahan menemukan bahwa para wanita yang mengekspresikan kemarahannya secara konsisten atau dengan kata lain sering marah,  mereka cenderung memiliki status jabatan yang lebih rendah dan dipandang kurang kompeten. Meskipun yang sebenarnya terjadi pada wanita penderita Resting Bitch Face, hanyalah ekspresi wajah mereka yang menunjukkan kemarahan , namun orang lain cenderung akan  melihat pertama kali pada wajah. Hal tersebut tentu saja  secara tidak langsung akan mempengaruhi reputasi, karir, dan kesuksekan wanita tersebut.  Namun , lain halnya dengan laki-laki. Meskipun ada beberapa dari mereka yang juga memiliki sindrom Resting Bitch Face, hal tersebut tidak akan menjadi masalah bagi karir dan  pekerjaan mereka. Hal ini dapat dilihat di lingkungan sekitar kita bahwa banyak dari mereka yang sukses dalam pekerjaan dan  memiliki jabatan tertentu dalam karir mereka.

 Menentang Kearifan Lokal
          Ramah dan murah senyum merupakan budaya yang diagung-agungkan  oleh masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, anggapan anggapan  bahwa Indonesia   adalah negara yang masyarakatnya ramah dan tidak mahal senyum telah menjadi ikon dan ciri di dunia pariwisata.  Hal tersebut merupakan hal yang patut dibanggakan.. Sudah jelas bahwa orang akan lebih senang ketika melihat orang lain senang. Karena emosi itu sejatinya dapat menular.  Namun, hal tersebut malah menjadi momok bagi para penderita sindrom Resting Bitch Face. Apa yang mereka rasakan tidak selaras dengan budaya yang dimiliki oleh bangsa ini. Orang normal cenderung akan mengatakan bahwa apa susahnya untuk tersenyum. Sedangkan yang dilakukan oleh penderita Resting Bitch Face Syndrome adalah sudah berusaha untuk tersenyum ketika bertemu orang lain. Hanya saja, orang lain seringkali menangkap ekspresi netral yang seharusnya ketika orang normal berekspresi datar atau biasa saja, namun yang nampak pada  penderita Resting Bitch Face Syndrome adalah ekspresi sedih atau marah.  Tidak mungkin bagi seorang penderita sindrom ini untuk selalu tersenyum selama berjam–jam, karena hal itu akan menyebabkan otot wajah, terutama pada bagian pipi akan menjadi sakit akibat dipaksakan untuk terus menegang. Sejatinya para penderita sindrom tersebut tidak perlu dipersalahkan. Karena pada hakikatnya mereka juga tidak bersedia menjadi penderita. Hal yang menjadi masalah adalah ketika banyak orang beranggapan bahwa penderita sindrom tersebut telah melanggar norma sosial yang ada di masyarakat. Ada juga yang beranggapan bahwa Resting Bitch Face Syndrome merupakan pembenaran dari perilaku buruk yang dimiliki oleh seseorang, terutama wanita.  Sepertinya masyarakat kurang memahami mengenai nilai moral yang sering terdapat dalam cerita dongeng klasik, yang menyatakan bahwa “jangan menilai seseorang dari penampilanya”. Pelanggaran norma sosial bukan mengarah pada bagaimana penampakan seseorang, tetapi lebih kepada perilaku menyimpang yang dilakukan  seseorang dengan  sengaja.



REFERENSI

Brescoll, V.L. dan  Uhlmann, E.L., 2008. Can an angry woman get ahead? Status conferral, gender, and expression of emotion in the workplace. Psychological science19(3), Hlm. 268-275.
Camia, E., 2016, Desember. RBF and the Reluctance to Accept Women’s Anger. Dalam The SAGES University Seminar Essay Awards.
Muñoz-Reyes, J.A., Iglesias-Julios, M., Pita, M. dan Turiegano, E., 2015. Facial features: What women perceive as attractive and what men consider attractive. PloS one10(7).

Swinney, K., 2017. I Love Your Face: Attraction and Facial Expressions of Emotion. Disertasi.   Murray State University.
Share:

2 comments:

  1. Terima kasih sudah berbagi, kak. Postingan ini juga ditautkan di blog saya. Izin ya, kak. :'D

    ReplyDelete