Tuesday 9 January 2018

Analisis Budaya: Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Pramudya  Ananta Toer


A.        Tentang penulis

Pramudya Ananta Toer lahir di Blora pada 6 Februari 1925. Menulis sejak di bangku sekolah dasar, kini beliau telah menghasilkan lebih dari 35 buku, baik fiksi maupun non fiksi. Beberapa karya – karyanya yang terbit pada masa Orde Baru dilarang oleh pemerintah. Ia pernah menjabat sebagai juru ketik di kantor berita Domei (1942 – 1944).  Beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri pernah diraihnya selama menjadi penulis.

B.        Penerbit

Buku ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada tahun 2001 untuk cetakan pertama dan tahun 2002 untuk cetakan kedua.

C.        Karakter, setting, dan bahasa

Penokohan dalam Buku ini menggunakan teknik langsung dan tidak langsung. Ada banyak sekali tokoh yang diceritakan penulis, karena buku ini merupakan kumpulan dari beberapa catatan kesaksian mengenai perawan remaja yang dijadikan budak seks.  Beberapa tokoh utama yang sering diceritakan diantaranya adalah :
1)      Siti F., salah satu wanita korban kebiadaban Jepang yang tinggal di Wai Apu bersama suku pedalaman Alfuru. Ia merupakan wanita cerdas dengan jiwa kepemimpinan tinggi.
2)      Bolansar, wanita buangan di Pulau Buru yang berasal dari Pemalang. Ia memiliki sifat suka menolong dan berbagi serta peduli terhadap orang lain.
3)      Ibu Mulyati dari Klaten. Penderitaan tak tertangguhkan yang diterimanya, telah menjadikan beliau sebagai seorang yang pemberani dan berjiwa kepemimpinan tinggi.

Buku ini memiliki latar waktu, tempat, dan suasana yang beragam. Tahun 1942 – 1945 di Jepang, Pulau Jawa, dan Asia Tenggara.  Tahun 1972 – 1979 di Pulau Buru.  Sebagian besar suasana dalam Buku ini adalah menyedihkan, mengharukan, dan menegangkan. Cerita dalam buku ini memiliki alur campuran. Bahasa yang digunakan penulis dalam buku ini menggunakan bahasa Indonesia yang baku dengan campuran berbagai macam bahasa daerah, seperti Melayu dan Maluku.




D.        Sinopsis

“…. Kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu…. Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat…”
 –Pramoedya Ananta Toer-

Buku ini dibuat berdasarkan catatan yang dimiliki oleh penulis selama berada di pengasingan, tepatnya di Pulau Buru. Buku ini menceritakan tentang peristiwa dibalik masa penjajahan Jepang. Bagi bangsa Indonesia, hal tersebut merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting dimana bangsa Indonesia sedang berada di puncak perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Namun, dibalik semua peristiwa sejarah yang dituliskan dalam arsip negara, terdapat kejadian yang dapat membuat hati kita bergetar apabila kita mengetahuinya.
Pada tahun 1943, serangan besar – besaran pihak sekutu di Asia Tenggara membuat posisi balatentara Jepang bergeser dari agresif menjadi defensif. Sikapnya terhadap nasionalisme Indonesia juga mulai berubah, sehingga kaum nasionalis di Jawa dan Sumatera mendapatkan keleluasan berpropaganda.
Hubungan laut dan udara balatentara pendudukan Jepang di Asia Tenggara dengan Jepang menjadi sulit. Orang Indonesia, melalui PETA (Pembela Tanah Air), mendapatkan latihan kemiliteran untuk menjadi perwira demi mempertahankan tanah airnya dari serangan Sekutu. Balatentara Jepang sendiri ditarik ke garis terdepan.
Sulitnya hubungan laut dan udara menyebabkan balatentara Jepang tak lagi bisa mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, China, dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirimkan sebagai wanita penghibur.
Balatentara Jepang melakukan propaganda kepada bangsa Indonesia dengan menginformasikan melalui mulut ke mulut. Jepang berjanji akan menyekolahkan banyak gadis Indonesia sebagai upaya untuk persiapan membangun negara Indonesia pasca Indonesia merdeka. Para wanita tersebut nantinya akan difokuskan untuk menguasai satu bidang keahlian, seperti menjadi juru rawat, tenaga pendidik, ahli ekonomi, dan lain lain.
Para pejabat negara seperti kepala desa, ketua RT, dan Kepala Residen, mereka semua diberi propaganda untuk melepas dan mengizinkan putri mereka guna menuntut Ilmu di Jepang. Hal tersebut merupakan sebuah keharusan. Apabila mereka melanggar, Jepang mengancam akan melepas jabatan mereka. Tentu saja putri para pejabat tersebut berbangga hati dengan alasan mereka akan mengejar cita – cita dan menjadi orang yang dapat bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
Namun semua itu hanyalah tipu muslihat semata. Kenyataan berkata lain, bukan pendidikan yang mereka dapatkan, namun kekejaman, penganiayaan, dan kesengsaraanlah yang mereka peroleh.  Faktanya, gadis gadis itu tidak pernah sampai ke Jepang. Mereka dijadikan budak seks bagi  balatentara Jepang. Para gadis itu bukanlah gadis biasa. Jepang cukup selektif dalam memilih. Rata rata dari mereka berparas cantik dan pintar, karena mereka merupakan keturunan para priyayi dan mereka telah memperoleh pendidikan SD dan atau SMP.
Awalnya, para gadis tersebut dijemput oleh sekelompok tentara Jepang di rumahnya. Kemudian, mereka dikumpulkan di sebuah tempat. Dibawa dengan kapal ke berbagai wilayah di luar Jawa. Salah satunya  adalah di Pulau Buru, MalukuMeskipun saat masa pendudukan Jepang telah usai mereka telah dibebaskan, namun tetap saja mereka tak berani pulang ke kampung halamannya yang sebagian besar berada di Pulau Jawa.
Dengan pengalaman kelam yang mengoyak harga dirinya, menjadi alasan mereka tidak berani bertemu keluarga. Banyak diantara gadis-gadis itu yang diperistri oleh orang asli setempat, suku Alfuru. Bahkan diantara dari mereka meninggal sia-sia karena tak bisa bertahan hidup lebih lama.


E.         Opini pribadi

Banyak sekali kajian mengenai feminisme dan adat istiadat masyarakat setempat pada saat itu dan sangat cocok untuk dijadikan sebagai bahan analisis sastra. Buku ini sarat akan makna kehidupan dan perjuangan terutama bagi para perempuan. 
Secara keseluruhan, buku ini sangat bagus dan kaya akan informasi mengenai sejarah yang jarang ditemukan di buku lain dan mengungkap fakta yang selama ini tidak diketahui masyarakat. Buku ini membuka wawasan yang sangat luas bagi para pembacanya. Kita dapat mengetahui dan ikut merasakan bagaimana penderitaan dan keadaan para wanita yang menjadi korban dibalik peristiwa sejarah negeri ini. 


Analisis Subjective

1.       “Dari keterangan seorang teman lain yang pernah bicara dengannya, ternyata Ibu yang setua dan serapuh itu tidak luput dari siksa dan aniaya sampai darahnya berlelehan dari tubuhnya, hanya karena Ia ketahuan telah berbiara dengan bahasa yang tidak dikenal oleh lingkungannya, adatnya, atau berhubungan dengan orang – orang dari negeri seberang. Wanita tidak boleh bicara dalam bahasa apapun kecuali bahasa Buru.”

“Ibu Muka Jawa mengulangi lagi sumpahnya pada Pamali dengan jalan membikin garis silang diatas tanah. Jari – jarinya yang tua kemudian menjumput tanah dari titik silang dua garis lurus itu dan memasukkan ke dalam mulut, memakannya sambil berkata : Dari bumi ini aku lahir. Dari bumi ini aku makan. Aku akan mati dan kembali di bumi ini juga.” (Halaman 97)

Pada paragraf pertama menjelaskan mengenai aturan adat bagi wanita di Pedalaman Buru. Mereka dilarang menggunakan bahasa selain bahasa Buru karena penduduk asli pedalaman Buru khawatir apabila para wanita tersebut akan melarikan diri. Para wanita tersebut dikekang oleh aturan adat setempat yang ketat.  Pada paragraf kedua dijelaskan mengenai tata cara ritual sumpah adat tersebut.

2.       “Itulah sajian untuk Pamali. Para pemuda Nisoni telah membuat sajian itu atas petunjuk kepala adat untuk mengusir penyakit yang menyerang babi – babi piaraan. Batang – Batang pisang yang ditancapi satu – dua ranting adalah lambang ucapan syukur pada Pamali setelah mereka berhasil berburu. Batang pisang diumpamakan binatang buruan dan ranting adalah tombak yang menghukum.” (Halaman 120)

Suku pedalaman Alfuru percaya bahwa dengan memberikan sesaji kepada Pamali (Leluhur yang dipercaya berkuasa di daerah setempat), adalah salah satu cara untuk mengusir penyakit bagi binatang peliharaan mereka. Hal tersebut dilakukan berdasarkan arahan dan petunjuk dari ketua adat.

3.       “Adat kampung tidak membenarkan seorang anak menyebut nama orangtuanya selagi Ia masih bergantung pada mereka.” (Halaman 121)

Bagi masyarakat pedalaman Alfuru, adat istiadat sangat dijunjung dan siapapun yang melanggar pasti akan dihukum. Seorang anak dilarang menyebut nama orang tuanya selagi Ia masih bergantung pada mereka. Hal tersebut dimaksudkan agar seorang anak lebih menghormati dan menghargai usaha orang tua selama membesarkan anak anaknya. Memanggil orang tua dengan sebutan nama merupakan hal yang tabu dan dinilai melanggar etika.




Analisis Objective

1.       “Ia tinggal di sebuah gubuk berdinding gaba – gaba (pelepah daun sagu). Gubuk panggung itu bersambung dengan dapur, yang juga beratap rumbia. Beberapa kali Slr. datang ke situ dan membantu membersihkan kebun pelataran yang ditanami ubi jalar dari rerumputan.”
 (Halaman 56)
Kutipan paragraf diatas menunjukkan ciri ciri fisik rumah salah satu suku di Pulau Buru, yaitu di Kampung Wai Lo.

2.    “Wanita setengah baya itu, mungkin Ibu si gadis kecil, nampak lain daripada wanita Alfuru pada umumnya. Rambutnya dikonde baik – baik. Kebayanya yang telah tua dan jauh dari warna aslinya sudah agak kumal, tapi nampak rapi.” (Halaman 60)
Kutipan paragraf diatas menunjukkan ciri ciri fisik, terutama cara berpakaian wanita jawa pada umumnya, yaitu memakai konde dan kebaya.

3.       “Berdasarkan berita itu, Mokhtar memperkirakan bahwa Kartini adalah istri Raja Gunung itu sendiri.” (Halaman 64)
Yang dimaksud Raja Gunung dalam kalimat tersebut adalah raja yang diakui di pedalaman Pulau Buru. Jadi, di Buru Utara terdapat dua raja, Raja Gunung dan Raja Kayeli. Mereka berasal dari satu marga; Wael. Raja Kayeli adalah penghubung antara suku bangsa Alfuru dengan Pemerintah Hindia – Belanda, kemudian menjadi raja yang diakui beragama Islam.  Kedua raja tersebut tidak memiliki kekuasaan administratif.

4.       “Waktu kecil pamanku sering menyebutkan kata parlente dalam arti berpakaian bagus dan rapi. Dalam kitab lama parlentai berarti petualang, avonturir, mercenary. Tetapi parlente yang kudengar pertama kali di Pedalaman Buru ini ternyata kata umum di Maluku yang berarti dusta, omong kosong, bohong. Jelas berasal dari kelompok bahasa latin (Prancis; parler) dan mungkin sekali pengaruh portugis.”
Dari paragraf diatas, terdapat perbedaan makna bahasa antara orang Jawa dan Maluku. Meskipun pengucapan dan tulisan yang sama, namun memiliki arti yang berbeda. Hal tersebut bisa saja terjadi karena pengaruh bangsa asing pada masyarakat setempat saat itu.   



Analisis Behavior
1.       “Pemerintah Balatentara Pendudukan Dai Nippon sangat takut pada keburukannya sendiri, pada kegagalan – kegagalannya sendiri, daripada berita buruk. Waktu Nippon Eigasa (Kantor Film Jepang), terletak sekitar 150 meter disebelah kanan kantorku, Domei, terbakar, tak sebaris pun berita disiarkan. Sedang kecelakaan itu bukan tidak meminta kurban jiwa manusia. Malah dua orang diantaranya istri dan anak tetanggaku.” (Halaman 7)

Paragraf tersebut menjelaskan bahwa Jepang adalah negara yang takut pada keburukannya sendiri. Hal ini memang telah menjadi budaya dan melekat pada orang Jepang. Mereka merupakan bangsa yang memiiki urat malu yang tinggi apabila mengalami kegagalan. Sebagai contohnya adalah pengunduran diri Menteri Ekonomi  Akira Amari atas tuduhan korupsi. Meskipun telah membantah tuduhan tersebut, Ia juga meminta maaf karena telah mencemari nama baik lembaga pemerintah Jepang.

2.       “Sesuatu yang menarik padanya ialah tingkah lakunya yang tidak sama dengan orang Alfuru, terutama wanitanya. Ia memperlihatkan kepemimpinan, dihormati, dan didengarkan oleh lingkungannya-suatu keluarbiasaan pada wanita Alfuru. Baik lelaki maupun perempuan melakukan perintahnya, termasuk suaminya sendiri. Jalannya diatur selangkah – selangkah, tepat seperti keluarga priyayi atau menak jaman Belanda. Dengan langkah itu pula Ia menerjang ilalang dan memasuki hutan. Sudah dari langkahnya nampak Ia bukan perempuan setempat. Lebih meyakinkan karena pakaiannya selalu rapi , demikin juga rambutnya. Warna rambutnya cukup hitam, tidak pirang seperti umumnya penduduk setempat.” (Halaman 68)

Wanita dalam paragraf tersebut adalah Siti F., Ia adalah orang Sunda, salah satu wanita yang menjadi korban akibat kebiadaban bangsa Jepang. Paragraf tersebut menunjukkan tentang bagaimana perilaku orang Jawa yang merupakan keturunan priyayi. Cara Ibu Siti berjalan menunjukkan bahwa Ia adalah wanita Jawa., selain itu, dari sifat kepemimpinan yang Ia miliki juga menunjukkan bahwa Ia adalah wanita yang pernah mengenyam bangku pendidikan.

Share:

Thursday 4 January 2018

Resting Bitch Face Syndrome Bukanlah Penyakit Sosial




Resting Bitch Face Syndrom be like a grumpy cat
Image source : AllPosters.com
 Ekspresi wajah merupakan hal yang penting dalam hubungan interpersonal (Suslow, Dannlowski, Arolt & Ohrmann dalam Swinney, 2017). Seperti yang dikatakan oleh Montepare & Dobish dalam Swinney (2017)  bahwa ekspresi wajah seseorang dapat memberikan informasi bagaimana keadaan dan juga perilaku orang tersebut. Dalam berkomunikasi, manusia tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alat penyampaian pendapat, tetapi bahasa tubuh dan raut wajah juga dapat digunakan sebagai alat untuk menyampaikan makna

Istilah Resting Bitch Face  saat ini masih terdengar asing di telinga  masyarakat. Padahal kehadiran orang – orang yang menderita sindrom  ini cukup banyak. Apabila kita mau memperhatikan orang – orang di sekitar kita, maka kita kan menemukan beberapa orang yang dianggap selalu memasang ekspresi wajah yang murung, tidak bisa tersenyum, penuh dengan kebencian, dan seakan akan ingin  memukul orang yang sedang ditemui oleh para penderita sindrom ini. Orang – orang yang mengalami sindrom ini belum tentu selalu bersikap jahat, galak, sedih, ataupun kesal. Mungkin mereka memiliki sikap baik yang tertanam dalam hati maupun kepribadiannya. Hanya saja mereka tidak bisa menunjukkan ekspresi netral yang terlihat gembira di wajah mereka. Apabila ada pepatah yang mengatakan bahwa terkadang hati, dan pikiran, memang tak selaras dengan rupa, hal tersebut benar adanya, karena inilah yang sering dialami oleh para penderita sindrom RBF (Resting Bitch Face).  
Ahli bedah plastik menyatakan bahwa fenomena ini sering ditemui di dunia bedah. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang ada kelainan yang terdapat pada otot wajah penderita sindrom tersebut. Kelainan tersebut membuat para penderita selalu menunjukkan wajah yang tidak bersahabat dalam keadaan atau posisi dimana wajah mereka memang sedang dalam keadaan netral. Karena mereka berada dalam keadaan  dimana mereka merasa kesulitan untuk mengontrol bagaimana ekspresi wajah mereka. Bahkan, para penderita sindrom ini tidak menyadari bagaimana ekspresi wajah mereka ketika mereka berhadapan atau berbicara dengan orang lain.  Sehingga banyak dari mereka yang mendapatkan citra sebagai orang yang mahal senyum dari beberapa   orang.

Pengaruh Stereotip Gender
          Sebagian besar penderita Resting Bitch Face Syndrome merupakan wanita. Pada dasarnya anggapan apakah seseorang menderita sindrom  tersebut merupakan sesuatu yang tidak jauh dari subyektivitas belaka. Hal yang patut menjadi pertanyaan adalah, mengapa sindrom ini banyak diderita oleh wanita? Tentu saja istilah stereotip gender ikut terlibat untuk menjawab pertanyaan ini.  Mari kita telaah pernyataan tersebut dengan melihat lebih jeli mengenai perilaku yang terdapat dalam masyarakat. Camia (2016:7) menjelaskan bahwa  sejak usia muda, para wanita telah diajarkan bahwa mengekspresikan kemarahan merupakan hal yang tidak lazim. Sadar atau tidak, bahwa sejak zaman nenek moyang dulu, masyarakat sering memberi label  terhadap wanita bahwa seorang wanita itu hendaknya selalu tersenyum, lemah lembut, dan haram hukumnya untuk cemberut. Berbeda dengan laki-laki yang tidak mendapat label tersebut. Malah akan terlihat aneh apabila seorang laki – laki sering tersenyum, karena citra yang dimiliki antara laki – laki dan perempuan jelas berbeda. Laki – laki cenderung akan terlihat lebih maskulin tanpa harus selalu tersenyum seperti apa yang seharusnya wanita lakukan.  Hal tersebut tentu dapat dikaitkan  dengan budaya patriarki dimana laki – laki memegang peranan yang dominan dalam masyarakat. Laki- laki memang mengharapkan wanita  untuk selalu tersenyum, dengan begitu wanita akan terlihat lebih cantik. Reyes (2015:13) dalam penelitiannya mengenai jenis wajah yang menarik perhatian pria pada wanita menemukan bahwa pria lebih menyukai wajah wanita yang awet muda dengan ekspresi ramah. Wanita yang lebih sering tersenyum memiliki peluang yang lebih besar untuk membuat orang lain menjadi tertarik. 
          Tidak hanya itu, pengaruh ekspresi wajah juga berpengaruh dalam hal pekerjaan di masyarakat. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Brescoll dan Ulhmann (2008:273) dalam artikel penelitiannya yang membahas mengenai perbedaan status, jenis kelamin, dan kemarahan menemukan bahwa para wanita yang mengekspresikan kemarahannya secara konsisten atau dengan kata lain sering marah,  mereka cenderung memiliki status jabatan yang lebih rendah dan dipandang kurang kompeten. Meskipun yang sebenarnya terjadi pada wanita penderita Resting Bitch Face, hanyalah ekspresi wajah mereka yang menunjukkan kemarahan , namun orang lain cenderung akan  melihat pertama kali pada wajah. Hal tersebut tentu saja  secara tidak langsung akan mempengaruhi reputasi, karir, dan kesuksekan wanita tersebut.  Namun , lain halnya dengan laki-laki. Meskipun ada beberapa dari mereka yang juga memiliki sindrom Resting Bitch Face, hal tersebut tidak akan menjadi masalah bagi karir dan  pekerjaan mereka. Hal ini dapat dilihat di lingkungan sekitar kita bahwa banyak dari mereka yang sukses dalam pekerjaan dan  memiliki jabatan tertentu dalam karir mereka.

 Menentang Kearifan Lokal
          Ramah dan murah senyum merupakan budaya yang diagung-agungkan  oleh masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, anggapan anggapan  bahwa Indonesia   adalah negara yang masyarakatnya ramah dan tidak mahal senyum telah menjadi ikon dan ciri di dunia pariwisata.  Hal tersebut merupakan hal yang patut dibanggakan.. Sudah jelas bahwa orang akan lebih senang ketika melihat orang lain senang. Karena emosi itu sejatinya dapat menular.  Namun, hal tersebut malah menjadi momok bagi para penderita sindrom Resting Bitch Face. Apa yang mereka rasakan tidak selaras dengan budaya yang dimiliki oleh bangsa ini. Orang normal cenderung akan mengatakan bahwa apa susahnya untuk tersenyum. Sedangkan yang dilakukan oleh penderita Resting Bitch Face Syndrome adalah sudah berusaha untuk tersenyum ketika bertemu orang lain. Hanya saja, orang lain seringkali menangkap ekspresi netral yang seharusnya ketika orang normal berekspresi datar atau biasa saja, namun yang nampak pada  penderita Resting Bitch Face Syndrome adalah ekspresi sedih atau marah.  Tidak mungkin bagi seorang penderita sindrom ini untuk selalu tersenyum selama berjam–jam, karena hal itu akan menyebabkan otot wajah, terutama pada bagian pipi akan menjadi sakit akibat dipaksakan untuk terus menegang. Sejatinya para penderita sindrom tersebut tidak perlu dipersalahkan. Karena pada hakikatnya mereka juga tidak bersedia menjadi penderita. Hal yang menjadi masalah adalah ketika banyak orang beranggapan bahwa penderita sindrom tersebut telah melanggar norma sosial yang ada di masyarakat. Ada juga yang beranggapan bahwa Resting Bitch Face Syndrome merupakan pembenaran dari perilaku buruk yang dimiliki oleh seseorang, terutama wanita.  Sepertinya masyarakat kurang memahami mengenai nilai moral yang sering terdapat dalam cerita dongeng klasik, yang menyatakan bahwa “jangan menilai seseorang dari penampilanya”. Pelanggaran norma sosial bukan mengarah pada bagaimana penampakan seseorang, tetapi lebih kepada perilaku menyimpang yang dilakukan  seseorang dengan  sengaja.



REFERENSI

Brescoll, V.L. dan  Uhlmann, E.L., 2008. Can an angry woman get ahead? Status conferral, gender, and expression of emotion in the workplace. Psychological science19(3), Hlm. 268-275.
Camia, E., 2016, Desember. RBF and the Reluctance to Accept Women’s Anger. Dalam The SAGES University Seminar Essay Awards.
Muñoz-Reyes, J.A., Iglesias-Julios, M., Pita, M. dan Turiegano, E., 2015. Facial features: What women perceive as attractive and what men consider attractive. PloS one10(7).

Swinney, K., 2017. I Love Your Face: Attraction and Facial Expressions of Emotion. Disertasi.   Murray State University.
Share: